[Adaptability test of shallot cultivar in wet and dry season in Yogyakarta (Indonesia)]
2001
Sutardi | Sarjiman | Budiono (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta (Indonesia))
unknown. Adanya fenomena penyimpangan iklim El Nino yang menyebabkan kemarau panjang dan fenomena La Nina suatu gejala penyimpangan iklim yang ditandai dengan mendinginnya suhu permukaan laut di bawah rata-ratanya, khususnya laut di Pasifik Timur dan tengah khatulistiwa. Gejala alam ini bisa menyebabkan turunnya suhu 2-3 derajat C. Tetapi di wilayah Indonesia, suhu permukaan laut justru menjadi panas yang menyebabkan penguapan menjadi lebih tinggi sehingga memicu terjadinya pembentukan awan yang menimbulkan hujan. Tingginya curah hujan tersebut disebabkan oleh suatu gejala alam tertentu yang merupakan suatu penyimpangan iklim. Dengan fenomena alam dampak El Nino dan La Nina perlu diupayakan untuk mendapatkan varietas yang tahan terhadap kekeringan dan curah hujan tinggi. Masalah dan kendala utama pada tanaman bawang merah di tingkat petani adalah rendahnya produksi dan kualitas hasil, serangan penyakit jamur dan hama ulat bawang serta masalah penggunaan pestisida dan agrokimia lainnya. Untuk mengurangi kerusakan oleh hama dan penyakit perlu ditanam varietas yang sesuai dengan iklimnya. Uji adaptasi kultivar bawang merah di musim penghujan dilaksanakan di dua lokasi yaitu Kabupaten Sleman dan Bantul. Perbedaan antara musim penghujan (MH) dan musim kemarau (MK) adalah pada teknik pembuatan bedengan. Pertanaman musim penghujan bagian atas bedengan dibuat agak melengkung (geger bulus) dengan lebar bedengan kurang lebih 1,20 m dan jarak antar bedengan kurang lebih 30-40 cm. Musim kemarau bagian atas bedengan dibuat mendatar dengan lebar bedengan 90-100 dan jarak antar bedengan 80-90 cm yang berfungsi sebagai penampung air untuk penyiraman. Perbedaan lain adalah pada dosis pemupukan yang digunakan pada musim penghujan adalah 300 kg ZA/ha, 250 kg SP-36/ha dan 200 kg KCl/ha, sedangkan pada musim kemarau menggunakan dosis pemupukan 150 kg urea/ha, 250 kg ZA/ha, 150 kg SP-36/ha dan 150 kg KCl/ha dan jarak tanam 20 x 15 cm. Kultivar yang digunakan meliputi 7 jenis, yaitu: 1. Philipina, 2. Bangkok, 3. Bauji 4. Lokal 5. Tiron 6. Bali Ijo 7. Sumenep. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kultivar Tiron memiliki jumlah anakan paling tinggi (15,23) dan terendah pada kultivar Bali Ijo (2,85). Demikian pula terhadap jumlah umbi per rumpun. Pertanaman musim penghujan berat umbi per rumpun tertinggi pada kultivar Bali Ijo (14,15 gr) walaupun jumlah umbi paling sedikit (6,88). Sebaliknya pada kultivar Tiron dengan umbi yang lebih banyak menghasilkan bobot umbi yang paling tinggi diantara kultivar yang diuji, kecuali Bali Ijo. Pertanaman musim kemarau berat umbi per rumpun untuk kultivar Tiron lebih rendah dibandingkan dengan kultivar Philipina, Bangkok, Bauji maupun Bali Ijo, walaupun jumlah umbinya lebih banyak. Ini berarti bahwa ukuran umbi yang dihasilkan pada kultivar Tiron lebih kecil dari Philipina, Bangkok, Bauji dan Bali Ijo
Show more [+] Less [-]AGROVOC Keywords
Bibliographic information
This bibliographic record has been provided by Indonesian Center for Agricultural Library and Technology Dissemination