Strategy on soybean production development

After having been succesfully achieved a self sufficiency in rice in the year of 1984, the government of Indonesia has strongly eager to achieve self sufficioency of other strategic commodities especially soybean and maize which should be obtained in the end of the Sixth of the Five Year Development Plan (the year of 1998). Although soybean production has increased by 3.48 percent annually during the period of 1989-1996, the domestic demand increased by 5.05 percent annually. The situation forced the government to import soybean: in 1984 the import was 628,159 tons or equivalent to US $ 184,622,000. Therefore, the government of Indonesia strongly eager to achieve self sufficiency in soybean by the end of 1998. Soybean production in Indonesia faces some problems and constraints, such as: (1) farmer's adoption of soybean production technology is still weak, (2) cropping pattern in irrigated and rain-fed lands is not fully optimized to cropping-index of 300, (3) domestic soybean quality is lower than the imported soybean, and (4) partnership between private sector (industry) and farmers is still weak. It is proposed that soybean production could be developed through strategy as follows: (1) developemnt of soybean production should be directed to potential wet and dry lands, (2) soybean production technology at farmer's level should be improved, (3) mutual cooperation (partnership) between industry and farmers should be established, and (4) working system of agricultural extension field worker (PPL) should be improved and Rural Extension Center (BPP) should be revitalization by completing the infrastructures/Setelah berhasil mencapai swasembada padi pada tahun 1984, Pemerintah Indonesia berusaha mencapai swasembada komoditas penting lain, terutama jagung dan kedelai, pada akhir Pelita VI (1998). Produksi kedelai nasional meningkat dengan 3,48 persen per tahunnya selama perode 1989-1996. Namun permintaan dalam negeri juga meningkat dengan angka peningkatan yang lebih tinggi, yaitu 5,05 persen per tahunnya. Hal ini memaksa untuk dilakukannya impor kedelai. Pada 1984, impor kedelai mencapai 628.159 ton atau setara dengan US$ 184.622.000. Dan sesuai dengan naiknya permintaan, angka impor ini meningkat tiap tahunnya. Peningkatan produksi kedelai di Indonesia menghadapi beberapa masalah, antara lain : (1) tingkat adopsi teknologi produksi oleh petani masih rendah, (2) pola tanam di lahan sawah dan tadah hujan belum mencapai optimalnya, yaitu 300, (3) kualitas kedelai dalam negeri masih lebih rendah daripada kedelai impor, dan (4) kemitraan antara swasta dengan petani belum terbina baik. Untuk mencapai peningkatan produksi kedelai, diusulkan beberapa strategi: (1) pengembangan produksi kedelai harus diarahkan ke daerah potensial baik basah maupun kering, (2) harus dilakukan perbaikan teknologi produksi pada tingkat petani, (3) harus diselenggarakan kemitraan yang sejajar antara swasta dan petani, dan (4) tata kerja dan infrastruktur PPL dan BPP harus diperbaiki.